Sufi Haraki Daie Murabbi

.:Moga Dagang kita diterima ALLAH:. "Ssghnya,Jihad mengajar kita bahawasanya ISLAM itu umpama sepohon pokok yang tidak mungkin tumbuh melainkan di atas titis darah dan air mata"

Ketika Al-Mustofa berada didepan , kupandangi pesonanya dari ujung kaki hingga kepala, Tahukah kalian apa yang terjelma ?
….Ya ….. Cinta !-(Abu Bakar ra)


Nabi demam kembali, kini suhunya semakin tinggi. Lemah baginda terbaring, menghadapkan wajah pada Fatimah anak kesayangan baginda.Sejak beberapa hari yg lalu,kesihatan baginda tidak elok. Isnin itu, kediaman manusia agung itu didatangi seorang lelaki berbangsa Arab yang sangat rupawan.
Di depan pintu, ia mengucapkan salam “Assalamu’alaikum duhai para keluarga Rasulullah dan bolehkah saya menjumpai kekasih Allah?”. Fatimah yang sedang mengurus ayahnya, bangun dan berdiri di belakang pintu “Wahai Abdullah, Rasulullah sedang sibuk dengan dirinya sendiri”. Fatimah berharap tetamu itu memahami dan pergi, namun suara asing semula kembali
mengucapkan salam yang pertama.

“Alaikumussalam, wahai hamba Allah” kali ini Nabi yang menjawabnya.
“Anakku sayang, tahukah engkau siapakah yang kini sedang berada di luar?”
“Tidak tahu ayah, bulu romaku meremang mendengar suaranya”
“Sayang, dengarkan baik-baik, di luar itu adalah dia, pemusnah kesenangan dunia, pemutus nafas di jiwa dan penambah ramai para ahli kubur”.
Jawapan nabi yang terakhir membuat Fatimah jatuh terduduk dan menangis seperti anak kecil.

“Ayah, bila lagi aku akan mendengar dirimu bertutur, harus bagaimana aku mendapatkan kasih sayang engkau, ku takkan dapat lagi memandang wajah ayahanda tersayang” pedih Fatimah. Nabi tersenyum, lirih ia memanggil ” Sayang, dekatiku, kemarikan pendengaranmu sebentar”. Fatimah menurut, dan Kekasih Allah itu berbisik mesra di telinga anaknya,

“Engkau adalah keluargaku yang pertama kali menyusuliku ”. Seketika wajah Fatimah tidak lagi sedih malah bersinar. Lalu kemudian, Fatimah mempersilakan tamu itu masuk. Malaikat pencabut maut berparas rupawan itu pun kini berada di samping Muhammad.

“Assalamu’alaikum ya utusan Allah” dengan takzim malaikat memberi salam.
“Salam sejahtera juga untukmu pelaksana perintah Allah, apakah tugasmu saat ini, berziarah ataukah mencabut nyawa si lemah?” tanya nabi. Angin berhembus dingin.
“Aku datang untuk keduanya, berziarah dan mencabut nyawamu, itupun setelah engkau perkenankan, jika tidak Allah memerintahkanku untuk kembali”
“Di manakah engkau tinggalkan Jibril? Duhai Izrail?”
“Ia kutinggal di atas langit dunia”.
Tak lama kemudian, Jibril pun datang dan memberikan salam kepada manusia yang juga dicintanya kerana Allah.

“Ya Jibril, gembirakanlah aku saat ini” pinta Al-Musthafa.Terdengar Jibril bersuara perlahan di dekat telinga insan pilihan, “Sesungguhnya pintu langit telah di buka, dan para Malaikat tengah berbaris menunggu sebuah kedatangan, bahkan pintu-pintu surga juga telah dilapangkan hingga terlihat para bidadari yang telah berhias untuk menyambut kehadiran yang paling ditunggu-tunggu”.

“Alhamdulillah, betapa Allah maha penyayang” sendu Nabi, wajahnya masih saja pucat pasi.
“Dan Jibril,senangkanlah hati ini, bagaimana keadaan ummatku nanti”.
“Aku beri engkau sebuah perkhabaran,Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Aku, telah mengharamkan surga bagi semua Nabi, sebelum engkau memasukinya pertama kali, dan Allah mengharamkan pula sekalian umat manusia sebelum pengikutmu yang terlebih dahulu memasukinya” Jawapan Jibril itu begitu menggembirakan baginda. Maha suci Allah, wajah Nabi disinari cahaya. Nabi tersenyum gembira.Dan beliau seperti tidak sakit lagi. Dan ia pun menyuruh malaikat izrail mendekatinya dan menjalankan amanah Allah.

Izrail, melakukan tugasnya. Perlahan anggota tubuh pembawa cahaya kepada dunia satu persatu tidak bergerak lagi. Nafas manusia pembawa berita gembira itu semakin terhembus jarang. Pandangan manusia pemberi peringatan itu kian meredup sunyi. Hingga ketika ruhnya telah berada di pusat dan dalam genggaman Izrail, nabi sempat bertutur, “Alangkah beratnya penderitaan maut”. Jibril berpaling tak sanggup memandangi sekujur tubuh yang dahulu selalu dia dampingi.
“Apakah engkau membenciku Jibril”
“Siapakah yang sampainya hati melihatmu dalam keadaan sakarat ini, duhai cinta,” jawabnya sendu.

Sebelum segala tentang manusia terindah ini menjadi kenangan, dari bibir manis itu terdengar panggilan perlahan

“Ummatku… Ummatku….”.
Dan ia pun dengan sempurna kembali.
Nabi Muhammad Saw, pergi dengan tersenyum, pada hari Isnin 12 Rabi’ul Awal, setelah tergelincirnya matahari, dalam usia 63 tahun.

Muhammad, Nabi yang Ummi, Kekasih para sahabat di masanya dan di sepanjang usia semesta, meninggalkan gemilang cahaya kepada dunia. Muhammad, pemberi peringatan kepada semua manusia, meninggalkan dalam-dalam tinta keikhlasan di lembaran sejarah.

Ia, Muhammad, menembus setiap gendang telinga sahabatnya dengan banyak bait-bait sabdanya dalam menjalani kehidupan.

Ia, Muhammad, yang di sanjung semua malaikat di setiap petala langit, berbicara tentang syurga, sebagai tebusan utama, bagi setiap amalan yang dikerjakan.

Ia, Muhammad yang selalu menyayangi fakir miskin dan anak yatim, menuturkan perintah untuk sentiasa memerhatikan manusia lain yang berkekurangan.
Dan Ia, Muhammad, tak akan pernah kembali lagi.
Sungguh, Madinah berubah kelabu.

Dan Aisyah ra, yang pangkuannya menjadi tempat singgah kepala Rasulullah di saat terakhir kehidupannya, mendendangkan syair kenangan untuk sang penyelamat seluruh alam, suaranya bening. Syahdunya membumbung ke jauh angkasa.

Beginilah Aisyah menyanjung sang Nabi yang telah pergi :
Wahai manusia yang tidak sekalipun mengenakan sutera,
Yang tidak pernah sekejap pun membaringkan diri pada empuknya tilam
Wahai kekasih yang kini telah meninggalkan dunia,
Ku tau perutmu tak pernah kenyang dengan lembut roti gandum,
Duhai, yang lebih memilih tikar sebagai alas pembaringan,
Duhai, yang tidak pernah terlelap sepanjang malam karena takut sentuhan neraka Sa’ir,
Muhammad yang tidak pernah "apa2" demi ummatnya.

Dan Umar r.a yang paling dekat dengan musuh disetiap medan jihad itu, kini menghunus pedang.Pedang itu menurutnya diperuntukkan untuk setiap mulut yang berani menyebut kekasih kesayangannya telah kembali kepada Allah. Umar menatap wajah-wajah para sahabat itu setajam mata pedangnya, meyakinkan mereka bahawa Umar sungguh-sungguh.
Umar bersumpah. Umar berteriak lantang. Umar menjadi sedemikian garang. Ia berdiri di hadapan para sahabat yang menunggu-nunggu khabar manusia yang dicinta.

Dan Abu Bakar, sahabat yang paling lembut hatinya, melangkah perlahan menuju kearah jasad manusia mulia. Langkahnya berjinjit, khuatir akan mengganggu seseorang yang tidur berkekalan, pandangannya lurus pada sekujur cinta yang dikasihinya dipertemuan pertama. Rupa berparas rembulan itu kini bertutup kain selubung. Abu Bakar hampir pengsan.
Nafasnya berhenti berhembus, tertahan. Sekuat tenaga, ia bersimpuh di depan jasad wangi al-Mustofa. Ingin sekali membuka penutup wajah yang disayangi arakan awan, disanjung hembusan angin dan dirindu kerlipan bintang, namun tangannya selalu saja gemetar.
Lama Abu bakar termenung di depan jenazah pembawa berkat.Akhirnya, demi keyakinannya kepada Allah, demi matahari yang masih akan terbit, demi mendengar rintihan pedih ummat di luar, Abu bakar mengais sisa-sisa keberanian. Jemarinya perlahan mendekati kain yg menutup tubuh suci Rasulullah, dan dijumpailah, wajah yang tak pernah menjemukan itu. Abu bakar memesrai Nabi dengan mengecup kening indahnya. Hampir tak terdengar ia berucap, “Demi ayah dan bunda, indah nian hidupmu, dan indah pula kematianmu. Kekasih, engkau memang telah pergi”.

Abu bakar menunduk. Abu Bakar kaku dan Abu Bakar berdoa di depan tubuh nabi yang telah sunyi.

Dan Bilal bin Rabah, yang suaranya selalu memenuhi udara Madinah dengan lantunan azan itu, tak lagi mampu berseru di ketinggian menara mesjid. Suaranya selalu hilang pada saat akan menyebut nama kekasih ‘Muhammad’.Di ruang angkasa, seruannya berubah pekik tangisan. Tak jauh dari langit, suaranya menjelma isak pedih yang tak henti. Setiap berdiri kukuh untuk mengumandangkan adzan, bayangan Purnama Madinah selalu saja jelas tergambar.

Tiap ingin menyeru manusia untuk menjumpai Allah, lidahnya hanya mampu berucap lembut, “Aku mencintaimu duhai Muhammad, aku merindukanmu kekasih”. Bilal, budak hitam yang kerap di sanjung Nabi kerana suara merdunya, kini hanya mampu mengenang Sang kekasih sambil menatap bola raksasa pergi di kaki langit.

Dan, terlalu banyak cinta yang tercatit di setiap jengkal lembah madinah. Yang tak pernah bisa diungkapkan.
Semesta menangis.

***
Sahabat, Sang penerang telah pergi menemui yang Maha tinggi.
Purnama Madinah telah kembali, menjumpai kekasih yang merindui.
Dan semesta, kehilangan pelita terindahnya.
Saya mengenangmu ya Rasulullah, meski hanya dengan setitik tinta pena.
Saya mengingatimu duhai pembawa cahaya dunia, meski hanya dengan sepatah kata.
******
Teman-teman..
dapatkah kita menyayangi Rasulullah sebagaiman sayangnya rasulullah kepada kita??
"kita akan ditempatkan disyurga bersama meraka yang kita sayangi"
"orang yang paling kita sukai dan yang paling kita sayangi ialah orang yang selalu kita sebut2 kan namanya"
Mahukah kita bersama Rasulullah Dijannah nanti??
Tapi,koreksi semula..
Rasulullah kah nama manusia yang selalu kita sebut?
Untuk semua sahabat. Mari kita saling mengingatkan, saling memberikan keindahan ukhuwah yang telah Rasulullah tercinta ajarkan dan tinggalkan kepada kita.
Mari Sahabat !
Allohuma Solli ala Muhammad …wa ala ali Muhammad …
Untuk kemuliaan manusia termulia dan tercinta sayyidina Rasulullah Muhammad SAW Bihurmati Habib
Al fatihah....
*Semarakkan Cinta Rasulullah Di bulan Sya'ban Yang Mulia ini..

0 comments: