Gemertak geraham kami memendam amarah memuncak. Bagaimana tidak, hari ini, Senin 3 Nov 2008 mereka mempermainkan keluarga kalian yang hendak menjenguk. Alih-alih diberi ijin, mereka melempar tanggungjawab perijinan ke Bali. Keluarga kalian diping-pong. Sementara itu, media tak henti-hentinya meramalkan proses kematian kalian.
Mulai dari jadwal, pengiriman jenazah hingga tempat pemakaman. Kurang ajar! Kami sadar, itu semua bagian dari provokasi mereka, sesumbar bahwa mereka merasa menang dan di atas segalanya.
Mulai dari jadwal, pengiriman jenazah hingga tempat pemakaman. Kurang ajar! Kami sadar, itu semua bagian dari provokasi mereka, sesumbar bahwa mereka merasa menang dan di atas segalanya.
Namun percayalah saudaraku…
Hari ini, boleh jadi kami begitu lemah tak berdaya. Hanya mampu sekadar menggertakkan geraham dan sembilu hati. Hari ini memang keadaan kami seperti itu. Tapi tidak untuk esok! Pengalaman yang kalian torehkan selama ini adalah pelajaran berharga, agar kami bisa bertindak dan bersikap lebih cerdas. Berbuat lebih sempurna dalam sebuah langkah yang terukur dan terencana dalam suatu strategi yang lebih baik dari sebelumnya. Perang ini akan berkembang dalam ruang yang lebih luas sekaligus… mematikan. Sungguh, demi Allah, mereka akan menyesal dan meratapi apa yang mereka lakukan pada kalian, sebagaimana dedengkot mereka menyesal dan meratapi apa yang telah dilakukan di Afghanistan dan Iraq.
Saudaraku….
Sebenarnya kalian tak perlu—dengan sedemikian cara—meminta Usamah bin Ladin agar membalas darah kalian. Tidak perlu, karena masih ada kami di sini. Setelah ketidakmampuan yang mendera kami selama ini, kami akan merasa lebih malu bila persoalan ini harus melibatkan sosok sekaliber beliau. Seolah-olah kami tak pernah bisa melakukan apa yang harus kami lakukan. Namun kami sadar, ikatan perjuangan membuat kalian mampu terbang melintasi gunung dan samudra, untuk “bertemu” dengan beliau, sekadar berbagi rasa atas apa yang terjadi pada diri kalian.
Saudaraku…
kalaulah malam ini Allah berkehendak memanggil kalian—untuk segera menikmat apa yang telah Ia janjikan selama ini. Sungguh, Ia takkan pernah ingkar janji—itu karunia terbesar bagi kalian. Janji yang sebagian telah Ia kabarkan melalui mimpi yang pernah kalian tuliskan kepada kami. Tentang kepergian kalian berbaju putih…tentang kalian yang akhirnya berhasil pulang kampong, setelah sebelumnya dihalangi banyak orang…
Jasad kita boleh berpisah, namun tidak untuk cita-cita dan sumpah setia yang telah kita ikrarkan bersama. Kematian kalian hanya akan menambah kerinduan kami untuk berjumpa dengan-Nya dalam keadaan terhormat, mati syahid! Peluru yang menembus jantung kalian juga akan mendobrak kedunguan dan kelengahan kami selama ini, yang telah jauh terninabobokkan dunia, menjauh dari cita-cita dan janji setia kita. Darah kalian yang menetes, adalah pupuk yang akan menumbuhsuburkan ladang-ladang jihad yang lebih lebat, ranum dan “bergizi” tinggi, yang membahagiakan hati pemiliknya. Ladang yang tak hanya berada dalam perkebunan milik MMI, Jamaah Anshar Tauhid, GPI, Hizbut Tahrir, FPI, Jamaah Islamiyah, FTJ, atau ladang milik kelompok manapun. Tetapi, ladang yang lebih luas milik ummat Islam. Karena itu, tindak zalim mereka atas hakikatnya adalah kemenangan bagi kalian.
Jadi,
kalaupun kami bersedih atas kematian kalian, semata karena kami manusia biasa. Manusia yang kehilangan orang-orang tercinta. Orang-orang yang selalu berada dalam hati kami, dalam relung-relung kenangan terindah, yang akan terus mengilhami kami agar bisa sebaik mungkin menyelesaikan “tugas-tugas” yang diamanahkan-Nya kepada kami. Kisah kalian akan melegenda dalam sejarah perjuangan di negeri ini, laksana mercu suar yang akan memberi petunjuk kepada kami, juga generasi-generasi sesudah kami.
Ya, karena, demi Allah, selamanya, kami takkan pernah rela dan melupakan kezaliman yang kalian—juga saudara-saudara kita lainnya—alami.
Demi Allah, mereka akan menyesal! Demi Allah, kalian telah menang
~Sumber dari:Arrahmah.com.
0 comments:
Post a Comment